Selasa, 20 September 2016

PANCASILA DIGUNAKAN SEBAGAI NILAI DASAR PROFESI DOKTER


Saat ini tidak banyak Sarjana Kedokteran yang ingin mengabdi di daerah terpencil di Indonesia. Minimnya fasilitas dan infra struktur menjadi salah satu alasan utama. Ada juga anggapan bahwa kuliah di bidang ini membutuhkan banyak biaya, sehingga bekerja di pedalaman dengan gaji minim tentu tidak akan mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan (www.okezone.com diakses tanggal 15 Februari 2016). Pendidikan dokter yang terbilang mahal dibandingkan dengan pendidikan lainnya, memicu karakter dokter jauh dari nilai Pancasila, dimana dokter akan lebih berpikir menjalankan profesinya dengan tujuan untuk mengejar keuntungan ekonomi semata dengan cara pragmatis, sehingga pengabdian kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dan sosial bukan menjadi tujuan utama sebagaimana yang termuat dalam sumpah kedokteran serta Pancasila. Terkait dengan minimnya dokter yang mengabdi pada daerah terpencil di Indonesia, sehingga pernah dibahas dalam diskusi “Potensi dan Peran Institusi Pendidikan dalam Penyediaan Tenaga Kesehatan untuk Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK)” di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) belum lama ini. Sehingga dr. Dwi Handono menilai, salah satu cara memperbaiki minimnya minat dokter muda mengabdi di daerah terpencil adalah dengan memperbaiki kurikulum. Menurutnya, perlu ada tambahan kurikulum berbasis lokal dan wawasan Nusantara mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, termasuk daerah terpencil.
Menurut Penulis sumpah kedokteran, merupakan kaidah dasar yang memiliki ikatan moral yang mendasari bagi dokter untuk terikat secara moral dan etika, dimana dalam sumpah kedokteran tersebut, dokter diharuskan tidak hanya menggunakan keilmuan secara profesional, namun lebih dari itu harus menggunakan keilmuan untuk kepentingan kemanusiaan dengan penuh hati nurani tanpa ada perbedaan status sosial dan ekonomi serta kewilayahan. Apabila dokter dalam menjalankan profesi kedokteran mampu menghayati dan menjalankan secara utuh sumpah kedokteran.Maka dokter tersebut telah menjadikan profesi dokter sebagai profesi mulia(nobile officium),  dan telah juga menjalankan nilai Pancasila (Hasrul Buamona,.Jurnal Lex RenaissanceFakultas Hukum UII Yogyakarta.Vol 1 No.2. 2016). Sebagai sistem nilai, Pancasila merupakan “base-values” dan sekaligus juga merupakan “goal-values”. Keseluruhan nilai-nilai dalam sistem nilai Pancasila itu dipersatukan oleh prinsip “kesatuan dalam perbedaan” dan “perbedaan dalam kesatuan” yang menjiwai struktur dasar keberadaan manusia dalam kebersamaan itu. Prinsip yang mempersatukan itu dalam lambang negara Republik Indonesia dirumuskan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”(Kartohadiprojo,1965).
Profesi dokter dengan nilai-nilai Pancasila memiliki hubungan yang erat, Penulis melihat hubungan erat tersebut, dipengaruhi oleh profesi kedokteran berkedudukan di wilayah negara Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai norma dasar bernegara, dan Pancasila itu sendiri merupakan nilai universal yang sebenarnya tidak hanya diberlakukan bagi negara Indonesia saja, namun memiliki nilai universal yang bisa digunakan oleh profesi kedokteran yang ada di negara lain,dikarenakan Pancasila memiliki nilai transedental yang di aplikasikan dalam moral dan etika yang harus dimiliki oleh dokter untuk memberi pelayanan medis kepada pasien dengan sikap yang penuh hati nurani.
Maka dokter baik secara personal, maupuun secara organisasi, tidak bisa melepaskan nilai- nilai Pancasila, dikarenakan nilai- nilai Pancasila memiliki kaitan dan pertanggungjawaban secara transedental kepada Allah SWT, serta dengan manusia itu sendiri sebagai wujud dari kemanusiaan yang adil dan beradab, atau dalam Islam dikenal dengan “rahmatan lilalamin” artinya kehadiran manusia di muka bumi harus memberi manfaat bagi orang lain. Yang menjadi masalah kemudian ialah dikarenakan pendidikan profesi dokter saat sekarang, hanya berkutat pada pendidikan akademis yang kosong akan nilai- nilai Pancasila, dimana pada sisi lain begitu padat pendidikan teknis medis tanpa menghubungkan dengan keadaan sosial masyarakat yang tidak merata akan pemenuhan kesehatan.
Seharusya Pancasila yang merupakan nilai-nilai dasar bernegara, harus dibangunkan kembali dari tidur yang panjang khususnya Pancasila harus aplikasikan dalam kurikulum pendidikan dokter baik itu  pada S1,Spesialis,S2 dan S3 tujuannya untuk mendekatkan dokter sebagai pekerjaan pengabdian yang mengabdi bagi yang tidak mampu secara ekonomi dan sosial, serta mengabdi bagi masyarakat yang berada di daerah terpencil khususnya di Maluku dan Maluku Utara.
Oleh: Cand (DR) Hasrul Buamona,S.H.,M.H. Advokat & Direktur HB Institute Pusat Studi Hukum Kesehatan dan Kebijakan Publik di Yogyakarta.

Senin, 12 September 2016

Kantor Pengacara di Jakarta

Kantor Pengacara di Jakarta,- Anda sedang mencari informasi tentang kantor pengacara di wilayah Jakarta? jika iya, Anda sudah tepat dengan menemukan artikel ini. Kami Kantor Pengacara BHP & Partners bekerja secara profesional sebagai penyedia jasa pelayanan hukum.

Didukung oleh partner lawyer dan konsultan hukum profesional, kami memberikan jasa pelayanan hukum berupa konsultasi hukum dari berbagai persoalan hukum, menangani dan menyelesaikan berbagai permasalahan hukum yang ditempuh melalui badan peradilan (litigasi) maupun melalui proses penyelesaian diluar peradilan (Alternative Dispute Resolution).

Wilayah kerja Kami di Jakarta meliputi; Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara.
Baca: Kantor Pengacara Jabodetabek (BHP & Partners)

Minggu, 04 September 2016

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PASAR MODAL DI INDONESIA

Hukum berfungsi untuk menciptakan dan menjaga ketertiban serta kedamaian di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, terdapat adagium “Ibi ius ubi Societas “(dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam perkembangan hukum, dikenal dua jenis hukum yaitu: hukum privat dan hukum publik. Hukum Privat mengatur hubungan antara orang perorangan, sedangkan hukum publik mengatur hubungan antara negara dengan individu.

Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Menurut mazhab Jerman, perkembangan hukum akan selalu tertinggal dari perkembangan masyarakal. Perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat, menyebabkan pula perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Kondisi demikian mendorong terjadinya perkembangan di bidang hukum privat maupun hukum publik. Kegiatan yang pesat di bidang ekonomi misalnya, menurut sebagian masyarakat menyebabkan peraturan yang ada di bidang perekonomian tidak lagi dapat mengikuti dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang ini, sehingga dibutuhkan aturan yang baru di bidang hukum ekonomi.

Marzuki Usman menyatakan pasar modal sebagai pelengkap di sektor keuangan terhadap dua lembaga lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan (Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti, 2001: 5). Pasar Modal merupakan tempat dimana dunia perbankan dan asuransi meminjamkan dananya yang menganggur. Dengan kata lain, Pasar Modal merupakan sarana moneter penghubung antara pemilik modal (masyarakat atau investor) dengan peminjam dana (pengusaha atau pihak emiten).

Keberadaan pasar modal menyebabkan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi, sebab kebutuhan keuangan (financial need) pelaku kegiatan ekonomi, baik perusahaan‑perusahaan swasta, individu maupun pemerintah dapat diperoleh melalui pasar modal. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, selain dimuat sanksi perdata dan administrasi, juga dilengkapi dengan sanksi pidana yang diatur dalam Bab XV tentang “Ketentuan Pidana” (Pasal 103‑ Pasal 110). Perumusan sanksi pidana dalam Undang‑Undang ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran hukum (tindak pidana) pasar modal, baik yang berkualifikasi sebagai kejahatan, maupun pelanggaran.

Pasar modal merupakan sebuah instrument yang bertujuan untuk menunjang pelaksaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Guna mencapai tujuan tersebut, pasar modal mempunyai peran strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha, termasuk usaha menengah dan kecil, sedangkan disisi lain pasar modal juga merupakan wahana investasi bagi masyarakat. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa keberadaan Pasar Modal Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia, sehingga diatur dalam satu aturan khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modaldan berbagai aturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Pengaturan khusus ini bertujuan agar aktivitas di Pasar Modal dapat berjalan konsisten dan taat asas bagi semua pelaku di pasar modal dan tidak terjadi pelanggaran dan tindak pidana, sehingga apa yang menjadi tujuan pendirian pasar modal dapat terwujud.

Permasalahan yang terdapat di dalam perekonomian di Indonesia mengenai pasar modal, yaitu banyak pengusaha curang yang bisa memanfaatkan kelemahan produk hukum ekonomi di Indonesia termasuk penyimpangan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pasar Modal di Indonesia”.

Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pasar Modal

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur berbagai bentuk pelanggaran dan tindakan pidana pasar modal berserta sanksi bagi pelakunya. Perbuatan yang dilarang tersebut meliputi:

  1. Penipuan, yaitu diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995, bahwa dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:

  2. Menipu atau mengelabui pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apapun;

  3. Turut serta menipu atau mengelabui pihak lain dan membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang materiil agar peryataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat peryataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau mengindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek.

  4. Manipulasi Pasar, diantaranya:

  5. Menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek (Pasar 91).

  6. Rekayasa harga efek di bursa, yaitu apabila setiap pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pihak lain, melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek (Pasal 92).

  7. Memberikan peryataan atau keterangan tidak benar atau menyesatkan, sehingga harga efek di bursa terpengaruh, yaitu setiap pihak dilarang dengan cara apapun, membuat peryataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan, sehingga mempengaruhi harga efek di bursa efek apabila pada saat peryataan dibuat atau keterangan diberikan:


1). Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa peryataan atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan; atau

2). Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari peryataan atau keterangan tersebut.

3. Insider Trading.

Insider trading adalah Perdagangan efek dengan mempergunakan Informasi Orang Dalam (IOD). IOD adalah informasi material yang dimiliki orang dalam yang belum tersedia untuk umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1995, tidak memberikan batasan insider trading secara tegas. Transaksi yang dilarang antara lain yaitu orang dalam dari emiten yang mempunyai informasi orang dalam melakukan transaksi penjualan atau pembelian atas efek emiten atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan. Dengan demikian pokok permasalahan insider trading adalah ”informasi”. Orang dalam atau dikenal dengan “insider” adalah manajer, pegawai atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik, pihak yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan publik memungkinkannya mempunyai IOD, termasuk pihak yang dalam 6 bulan terakhir tidak lagi menjadi orang-orang tersebut. Sementara pihak lain yang dilarang melakukan insider trading adalah mereka yang memperoleh IOD secara melawan hukum, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, bahwa pihak yang berusaha untuk memperoleh IOD dari orang dalam secara melawan hukum dan kemudian memperolehnya dikenakan larangan yang sama dengan larangan yang berlaku bagi orang yang sebagaimana dimaksud Pasal 95 dan Pasal 96. Demikian juga perusahaan efek yang memiliki IOD, pegawai Bapepam yang diberi tugas atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam untuk melakukan pemeriksaan juga dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau pihak lain kecuali diperintahkan oleh UU lainnya (Pasal 98 ayat (4)).

4. Short Selling

Selain berbagai perbuatan yang dilarang di Pasar Modal di atas banyak berkembang perbuatan pelanggaran dan tindak pidana yang lain yang belum terjangkau oleh Undang-undang Pasar Modal, seperti “Short Selling”, yaitu perdagangan efek pada pasar tidak normal atau jatuh, yang menjadikan short selling sebagai perbuatan pidana adalah merusak atau menurunkan harga efek, merusak atau menurunkan indeks harga saham yang secara langsung dapat merubah kondisi perekonomian nasional.

5. money laundering (Pencucian Uang)

Perlu dicermati bahwa pasar modal juga dapat dijadikan sebagai lahan money laundering, baik melalui pembelian saham di transaksi bursa, maupun akuisisi perusahaan terbuka serta manipulasi data keuangan perusahaan terbuka. Dalam transaksi di pasar modal sulit diketahui asal usul atau sumber pendanaan yang dijadikan alat bayar oleh pelaku pasar modal, ini yang sulit untuk dilakukan pembuktian.

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pasar Modal di Indonesia

Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995, separti halnya KUHP, juga membagi tindak pidana di bidang pasar modal menjadi dua macam, yaitu kejahatan dan pelanggaran di bidang pasar modal.  Dari kasus-kasus pelanggaran  perundang-undangan di atas, sebagaimana telah dijelaskan ketika membahas tentang kejahatan pasar modal, bahwa selama ini belum ada satu kasuspun yang penyelesaiannya melalui jalur kebijakan pidana, tetapi melalui penjatuhan sanksi administrasi, yang penyelesaiannya dilakukan oleh dan di Bapepam.  Baru pada tahun 2004 terdapat satu kasus tindak pidana pasar modal yang sudah sampai ke pihak kejaksaan, dengan kata lain proses penyelesaiannya akan melalui sistem peradilan pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, meletakkan kebijakan kriminal melalui hukum pidana terhadap tindak pidana pelanggaran pasar modal dalam Pasal 103 ayat (2), yaitu pelanggaran Pasal 23,  Pasal 105, dan Pasal 109.

Pelanggaran pasar modal yang dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) adalah pelanggaran terhadap Pasal 32 yaitu: seseorang yang melakukan kegiatan sebagai wakil penjamin efek. Wakil perantara pedagang efek atau wakil menager inveatsi tanpa mendapatkan izin Bapepam. Ancaman bagi pelaku adalah maksimum pidana selama 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).

Pelanggaran pasar modal yang dimaksud dalam Pasal 105 adalah pelanggaran Pasal 42 yang dilakukan oleh Manajer investasi, atau pihak terafiliasinya, yaitu : menerima imbalan (dalam bentuk apapun), baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi manejer investasi itu untuk membeli atau menjual efek untuk reksa dana. Ancaman pidana berupa pidana kurungan maksimum 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1.000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).

Pelanggaran yang dimaksud dalam Pasal 109 adalah perbuatan tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan Pasal 100, yang berkaitan dengan kewenangan Bapepam dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap semua pihak yang diduga atau terlibat dalam pelanggaran Undang-Undang Penanaman Modal.

Dianutnya pembagian delik atas dua macam yaitu delik kejahatan pasar modal, dan delik pelanggaran pasar modal, menunjukkan bahwa Undang-Undang Penanaman Modal mengikuti ketentuan yang terdapat dalam KUHP yang merupakan hukum (ketentuan yang umum, di satu sisi, tetapi dalam ketentuan mengenai sanksinya jauh berbeda. Di dalam KUHP untuk delik pelanggaran tidaklah diancam dengan pidana kumulasi seperti dalam Undang-Undang Penanaman Modal ini, tetapi hanya hukuman kurungan paling lama satu tahun, sedangkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal juga satu tahun kurungan tetapi dikumulasikan dengan denda yang besar (1 milyar).

Hal ini tentu saja rasional, juga bila dilihat dari asas perundang-undangan yang baik selalu memperhatikan antara korban dan sanksi yang seimbang.  Walaupun selama ini dikenakan sanksi administrasi kepada pelaku tindak pidana pasar modal, tetapi seperti pada tindak pidana pasar modal, alasan yang sama telah dikemukakan di atas menjadi dasar untuk memberikan sanksi administrasi tersebut.

Melihat penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Bapepam, Bapepam lebih cenderung menyelesaikan persoalan tersebut dengan menggunakan jalur di luar pengadilan (non penal), akan tetapi apabila pihak pelanggar tidak dapat menyelesaikan sanksi administratif yang telah dijatuhkan, maka pihak Bapepam akan menyelesaikan kasus tersebut ke pengadilan (penyelesaian secara penal).  Dapat dikatakan disini bahwa, pihak Bapepam beranggapan bahwa hukum pidana tersebut sebagai senjata pamungkas (Ultimum Remedium) di dalam penyelesaian kasus pelanggaran perundang-undangan di pasar modal.

Kejahatan dan pelanggaran di pasar modal berupa penipuan, manipulasi pasar danInsider Trading. Bapepam adalah lembaga regulator dan pengawas pasar modal, dipimpin oleh seorang ketua, dibantu seorang sekretaris, dan tujuh orang kepala biro terdiri atas:

  1. Biro perundang-undangan dan Bantuan Hukum

  2. Biro Pemeriksaan dan Penyidikan

  3. Biro Pengelolaan dan Riset

  4. Biro Transaksi dan Lembaga Efek

  5. Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa

  6. Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.

  7. Biro Standar dan Keterbukaan.


Bila terjadi pelanggaran perundang-undangan pasar modal atau ketentuan di bidang pasar modal lainnya maka, Bapepam sebagai penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran tersebut, hingga bila memang telah terbukti akan menetapkan sanksi kepada pelaku tersebut. Penetapan sanksi akan diberikan atau diputuskan oleh ketua Bapepam setelah mendapat masukan dari bagian pemeriksaan dan penyidikan Bapepam. Bila mereka yang dikenai sanksi dapat menerima putusan tersebut. Maka pihak yang terkena sanksi akan melaksanakan semua yang telah ditetapkan oleh Bapepam. Permasalahan akan berlanjut bila sanksi yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat diterima atau tidak dilaksanakan, misalnya denda yang telah ditetapkan oleh Bapepam tidak dipenuhi oleh pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran, maka akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan, dengan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan penuntutan.

Demikian pula dengan Bursa Efek, sebagai lembaga yang menyelenggarakan pelaksanaan perdagangan efek, apabila di dalam melakukan transaksi perdagangan efek menemukan suatu pelanggaran, yang berindikasi adanya pelanggaran yang bersifat pidana, lembaga ini akan menyerahkan pelanggaran tersebut kepada Bapepam untuk dilakukan pemeriksaan dan penyidikan.

Kewenangan melakukan penyidikan terhadap setiap kasus (pelanggaran peraturan perundangan pidana) bagi Bapepam, diberikan oleh KUHAP seperti tercantum di dalam ketentuan Pasal 6 (ayat 1) huruf (b). yang menyebutkan: “Penyidik adalah aparat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.”

Tata cara pemeriksaan di bidang pasar modal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1995. Bapepam akan melakukan pemeriksaan bila:

  1. Ada laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tentang adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal;

  2. Bila tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak-pihak yang memperoleh perizinan, persetujuan atau dari pendaftaran dari Bapepam ataupun dari pihak lain yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam, dan;

  3. Adanya petunjuk telah terjadinya pelanggaran perundang-undangan di bidang pasar modal


Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, menurut Undang-Undang Penanaman Modal bertugas dalam pembinaan, pengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pelaku ekonomi di pasar modal. Dalam melaksanakan berbagai tugasnya ini, Bapepam memiliki fungsi antara lain, menyusun peraturan dan menegakkan peraturan di bidang pasar modal, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin, persetujuan dan pendaftaran dari Bapepam dan pihak lain yang bergerak di bidang pasar modal, menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, lembaga kliring dan penjaminan, maupun lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lainnya.

Dengan berbagai fungsinya tersebut, Bapepam dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur, dan efisien serta dapat melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum, Bapepam bersikap proaktif bila terdapat indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal. Dengan melakukan pemeriksaan, dan atau penyidikan, yang didasarkan kepada laporan atau pengaduan dari pelaku-pelaku pasar modal, data tersebut dianlisis oleh Bapepam dan dari hasil tersebut dijadikan konsumsi publik dengan melakukan pemberitaan melalui media massa.

Sejak tahun 1997, Bapepam melaksanakan press release secara berkala kepada masyarakat, antara lain melalui media massa dan media internet. Presss Release yang dikeluarkan oleh Bapepam, merupakan bentuk publikasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai kondisi, dan keberadaan suatu perusahaan, dan juga kebutuhan masyarakat akan informasi pasar modal lainnya misalnya, bila ada kebijakan perundang-undangan yang baru dari Bapepam. Selain itu pula, kebijakan untuk selalu membuat laporan kepada masyarakat melalui press release ini adalah merupakan perwujudan dari prinsip kejujuran dan keterbukaan (tranparansi) yang dianut oleh lembaga pengawas pasar modal ini.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur berbagai bentuk pelanggaran dan tindakan pidana pasar modal berserta sanksi bagi pelakunya. Perbuatan yang dilarang tersebut meliputi penipuan, manipulasi pasar, insider tradingdan pencucian uang. Penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran di pasar modal yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi, hukum pidana jarang digunakan dalam menyelesaikan kejahatan dan pelanggaran di pasar modal. Penegakan hukum tersebut lebih banyak digunakan jalur non penal, yaitu dengan menjatuhkan denda administrasi oleh Bapepam.

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan penegakan hukum terhadap tindak pidana di pasar modal harus ditingkatkan kembali. Bapepam sebagai badan yang memiliki wewenang untuk menyusun peraturan dan menegakkan peraturan di bidang pasar modal, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin, persetujuan dan pendaftaran dari Bapepam dan pihak lain yang bergerak di bidang pasar modal, menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, lembaga kliring dan penjaminan, maupun sebagai lembaga penyimpanan dan penyelesaian permasalahan di bidang pasar modal harus memaksimalkan dan mengoptimalkan kewenagan yang dimilikinya demi menciptakan pasar modal yang sehat di Indonesia.

Sumber: http://iyan88simple.blogspot.co.id/2012/10/penegakan-hukum-terhadap-tindak-pidana.html

RUU Perubahan UU ITE Masih Melanggar Kebebasan Berekspresi

Cita-cita untuk memiliki perlindungan hukum terkait tata kelola internet yang paripurna kembali gugur. Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang seharusnya menjadi momentum perubahan untuk menciptakan regulasi pemanfaatan teknologi yang berperspektif hak asasi manusia, justru membatasi aktivitas masyarakat sipil di dunia maya. Meskipun telah melalui dua kali rapat kerja dan lima kali rapat Panitia Kerja Komisi 1 DPR, Pembahasan RUU Perubahan ITE masih menghasilkan regulasi yang berpotensi melanggar kebebasan berekspresi pengguna internet dan kemunduran dalam hukum acara pidana.

Sebagai salah satu regulasi yang mengatur tata kelola internet di Indonesia, UU ITE masih menimbulkan sejumlah permasalahan. Sejak disahkan menjadi undang-undang, UU ITE telah digunakan untuk mengkriminalisasi sebanyak 200 pengguna internet terutama atas tuduhan pelanggaran Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE. Sehingga proses amandemen yang diinisiasi pihak pemerintah (khususnya Kementerian Komisi Informasi) dapat menjadi batu loncatan untuk menciptakan regulasi pengaturan internet yang komprehensif termasuk irisan pembatasan hak yang proporsional dan sah sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.

Namun poin perubahan RUU ITE sejatinya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dan dukungan atas pertumbuhan informasi dan teknologi digital. Hasil akhir amandemen tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan inti yang lahir dari UU ITE hari ini.

Elsam, LBH Pers, ICJR sebagai kumpulan masyarakat sipil yang mendukung demokrasi digital mengkritisi poin-poin hasil amandemen UU ITE sebagai berikut:

Pertama, Mempertahankan Pasal Pencemaran Nama Baik dalam Pasal 27 ayat 3 adalah melanggengkan ancaman kebebasan berekspresi. Pasal karet yang dinilai over-kriminalisasi ini justru masih dipertahankan dalam UU ITE. Revisi ini belum melakukan perubahan substansial terkait penjelasan yang membedakan frasa “mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses” dan pula frasa “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Meskipun telah menegaskan bahwa pasal ini adalah delik aduan yang merujuk Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, secara prosedural hal ini masih menimbulkan kekeliruan karena perbedaan ancaman antar kedua regulasi tersebut sangat siginifikan. Kendati amandemen UU ITE telah mengurangi ancaman pidana menjadi 4 (empat) tahun untuk mencegah tindakan penahanan langsung, hal ini masih jauh lebih berat ketimbang ancaman maksimal 9 bulan penjara yang diatur dalam pasal pencemaran nama baik di KUHP. Selain itu, KUHP sendiri juga masih dalam proses amandemen di DPR.

Kedua, duplikasi terhadap tindak pidana pemerasan dan pengancaman. Dalam RUU ITE ditemukan dua bentuk tindak pidana terkait pemerasan dan pengancaman yaitu Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 29 yang sebenarnya memiliki syarat tindakan yang sama. Meskipun amandemen menegaskan untuk merujuk pada ketentuan dalam pasal 368 dan Pasal 369 KUHP, secara substansial KUHP sebenarnya masih dapat menjangkau perbuatan yang lakukan dengan medium internet. Perubahan ancaman pidana yang diringankan menjadi 4 tahun tersebut juga belum menjawab persoalan karena dalam KUHP diatur pidana penjara paling lama 9 bulan untuk tindak pidana pemerasan dan 4 tahun untuk pidana pengancaman.

Ketiga, Kemunduran dalam Hukum Acara Pidana Khususnya dalam Proses Penahanan. Ide untuk mengharmonisasi ketentuan penangkapan penahanan sesuai hukum acara pidana dalam UU ITE tidak dapat terlaksana dengan adanya perubahan pada pasal 43 ayat 6 UU ITE. Amandemen tersebut justru menghapuskan kemajuan dalam hukum pidana yang mengharuskan penyidik untuk mendapatkan penetapan terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri melalui penuntut umum. Dengan menghilangkan ketentuan ini, maka terbuka lebar tindakan penahanan yang sewenang-wenang dari aparat penegah hukum.

Keempat, Definisi terkait Cyber Bullying yang jelas dalam Pasal 29 ayat 4. Amandemen UU ITE memasukkan kejahatan cyber bullying sebagai pidana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (4). Meskipun bentuk kejahatan ini merupakan salah satu bentuk kejahatan siber dalam Konvensi Budapest, definisi pidana tersebut harus diuraikan secara jelas.

Oleh karena proses pembahasan yang tertutup dari pantauan public, tidak menutup kemungkinan ketentuan mengenai cyber bullying tidak sesuai dengan prinsip lex certa dan lex strictica dan lex scripta yang menyebabkan salah tafsir dan penggunaan yang sewenang-wenang.

Elsam, LBH Pers, dan ICJR menilai draft akhir RUU Perubahan UU ITE belum memberikan perlindungan hukum berinternet yang menjadi solusi dalam permasalahan dunia maya di Indonesia. Revisi UU ITE seharusnya mampu menjadi payung hukum untuk mengatur segala aspek teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia termasuk perlindungan hak asasi dalam ruang online. Misalnya dengan memberikan pengaturan tata kelola konten internet sesuai dengan prinsip hak asasi manusia seperti delegasi pengaturan , perlindungan data pribadi, dan tata cara itersepsi komunikasi.

Selanjutnya regulasi ini harusnya menghapus seluruh bentuk duplikasi pengaturan pidana khususnya pencemaran nama baik dan sepenuhnya dikembalikan pada KUHP beriringan dengan pembahasan pembaharuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sedang berlangsung di DPR sekarang.

Sumber: http://membunuhindonesia.net/2016/09/ruu-perubahan-uu-ite-masih-melanggar-kebebasan-berekspresi/

 

Rabu, 31 Agustus 2016

Hukum Pidana Tak Memerlukan Bukti Langsung; Kesaksian Ahli Dalam Persidangan Jesica.

Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa pembuktian hukum dalam perkara pidana tidak memerlukan bukti langsung atau direct evidence. Edward menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016).

"Dalam hukum pembuktian ada direct evidence, bukti langsung. Ada juga circumstantial evidence, bukti tidak langsung dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bisa dibuktikan," ujar Edward.

Menurut Edward, circumstantial evidence bisa didapatkan dari surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa. Dari keterangan-keterangan di dalam persidangan, majelis hakim dapat memutuskan perkara.

"Maka hakim dapat memutuskan perkara tanpa adanya direct evidence," kata dia.

Setelah mendengarkan keterangan ahli, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan bagaimana keterangan ahli dapat menjadi salah satu bukti untuk majelis hakim memutuskan suatu perkara.

"Jenis keterangan ahli ada lima. Pertama, keterangan ahli dari segi bahasa. Kedua, keterangan ahli secara teknis suatu prosedur," ucap Edward.

Keterangan ahli yang ketiga yakni keterangan ahli yang menjelaskan suatu peristiwa atau perbuatan berdasarkan fakta yang dikumpulkan terlebih dahulu, baik dari media massa, tayangan yang disaksikan, dan lainnya. Selanjutnya keterangan ahli yang melakukan penelitian baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Yang kelima, ahli yang ketika memberikan keterangan berdasarkan keahlian tanpa perlu melakukan observasi atau pengamatan," tuturnya.

Selain itu, kesaksian ahli pun memiliki corak, yakni ahli tersebut tidak boleh masuk ke dalam kasus konkret yang sedang disidangkan. Setelah itu, JPU kembali bertanya apakah ahli yang sudah memberikan keterangan dalam penyidikan yang dilakukan penyidik dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di dalam persidangan. JPU pun menanyakan apakah keterangannya tetap objektif.

"Selama ahli itu melakukan penelitian, baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, itu masih objektif," jawab Edward.

Jawaban Edward tersebut sesuai dengan nomor empat mengenai jenis keterangan ahli yang dia jelaskan sebelumnya. Dalam kasus ini, Mirna meninggal setelah meminum kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu (6/1/2016).

Jessica menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. JPU memberikan dakwaan tunggal terhadap Jessica yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Namun, selama persidangan berlangsung, belum ada satu pun saksi yang melihat Jessica memasukkan sianida ke dalam es kopi vietnam yang diminum Mirna.

Sumber: Kompas.com

Hukum Pidana Tak Memerlukan Bukti Langsung; Kesaksian Ahli Dalam Persidangan Jesica

Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa pembuktian hukum dalam perkara pidana tidak memerlukan bukti langsung atau direct evidence. Edward menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016).

"Dalam hukum pembuktian ada direct evidence, bukti langsung. Ada juga circumstantial evidence, bukti tidak langsung dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bisa dibuktikan," ujar Edward.

Menurut Edward, circumstantial evidence bisa didapatkan dari surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa. Dari keterangan-keterangan di dalam persidangan, majelis hakim dapat memutuskan perkara.

"Maka hakim dapat memutuskan perkara tanpa adanya direct evidence," kata dia.

Setelah mendengarkan keterangan ahli, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan bagaimana keterangan ahli dapat menjadi salah satu bukti untuk majelis hakim memutuskan suatu perkara.

"Jenis keterangan ahli ada lima. Pertama, keterangan ahli dari segi bahasa. Kedua, keterangan ahli secara teknis suatu prosedur," ucap Edward.

Keterangan ahli yang ketiga yakni keterangan ahli yang menjelaskan suatu peristiwa atau perbuatan berdasarkan fakta yang dikumpulkan terlebih dahulu, baik dari media massa, tayangan yang disaksikan, dan lainnya. Selanjutnya keterangan ahli yang melakukan penelitian baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Yang kelima, ahli yang ketika memberikan keterangan berdasarkan keahlian tanpa perlu melakukan observasi atau pengamatan," tuturnya.

Selain itu, kesaksian ahli pun memiliki corak, yakni ahli tersebut tidak boleh masuk ke dalam kasus konkret yang sedang disidangkan. Setelah itu, JPU kembali bertanya apakah ahli yang sudah memberikan keterangan dalam penyidikan yang dilakukan penyidik dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di dalam persidangan. JPU pun menanyakan apakah keterangannya tetap objektif.

"Selama ahli itu melakukan penelitian, baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, itu masih objektif," jawab Edward.

Jawaban Edward tersebut sesuai dengan nomor empat mengenai jenis keterangan ahli yang dia jelaskan sebelumnya. Dalam kasus ini, Mirna meninggal setelah meminum kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu (6/1/2016).

Jessica menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. JPU memberikan dakwaan tunggal terhadap Jessica yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Namun, selama persidangan berlangsung, belum ada satu pun saksi yang melihat Jessica memasukkan sianida ke dalam es kopi vietnam yang diminum Mirna.

Sumber: Kompas.com

Cacat Hukum UU ITE Nomor 11 Tahun 2008

UNTUK memulai perdebatan tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama berkenaan dengan pencemaran nama baik sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu mengenai teori perundang-undangan dan upaya tafsir atas undang-undang. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Indonesia, A. Hamid S. Attamimi memberi penjelasan tentang teori perundang-undangan:
“‘Teori perundang-undangan’ bukanlah berarti pendapat cara melakukan sesuatu, seperti dikatakan orang: teorinya mudah tetapi praktiknya sukar. Bukan pula berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (…). Kata ‘teori perundang-undangan’ yang dimaksudkan di sini ialah sekumpulan pemahaman-pemahaman, titik-titik tolak, dan asas-asas yang saling berkaitan, yang memungkinkan kita memahami lebih baik terhadap sesuatu yang kita coba untuk mendalaminya.”

Teori perundang-undangan merujuk pada ilmu pengetahuan di bidang perundang-undangan yang bersifat kognitif, dalam arti memberi pemahaman terutama mengenai pemahaman-pemahaman dasarnya. Dari penggunaan istilah atau pemahaman perundang-undangan, Attamimi cenderung menggunakan pemahaman perundang-undangan dari Burkhardt Krems, pakar hukum perundang-undangan asal Jerman. Pengetahuan perundang-undangan yang dimaksud dibagi menjadi dua sisi. Pertama, sisi yang berorientasi untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman yang bersifat kognitif (teori perundang-undangan). Kedua, sisi yang melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif (ilmu perundang-undangan dalam arti sempit).

Dengan demikian, teori perundang-undangan ialah cabang atau sisi dari ilmu perundang-undangan yang bersifat kognitif dan berorientasi mengusahakan kejelasan dan kejernihan pemahaman, khususnya pemahaman di bidang perundang-undangan (pemahaman tentang undang-undang, tafsir atas undang-undang, pembentuk undang-undang, dan sebagainya).

Berangkat dari penjelasan tersebut, pemahaman terhadap fungsi perundang-undangan dan tafsir atas undang-undang harus disandarkan pada pemahaman kognitif dan pengetahuan hukum, sebagaimana diuraikan dengan jernih secara teoretis oleh Attamimi atas tafsirnya terhadap konsep Burkhardt Krems. Di Indonesia, dalam proses pembentukan perundang-undangan dan praktik perundang-undangan, sering terjadi pendangkalan pemahaman atas tafsir undang-undang, baik oleh pembentuk undang-undang maupun penegak hukum. Hal ini tampak jelas dalam kaitannya dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.

Secara umum, UU ITE dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama, pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik. Kedua, pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang.

UU ITE dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umum guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain: pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 dan Pasal 6), tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan Pasal 12), penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority) (Pasal 13 dan Pasal 14), dan penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 dan Pasal 16).

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain, kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pengancaman, dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29); akses ilegal (Pasal 30); intersepsi ilegal (Pasal 31); gangguan terhadap data (data interference) (Pasal 32); gangguan terhadap sistem (system interference) (Pasal 33); dan penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device) (Pasal 34).

Berangkat dari tinjauan umum di atas, menurut saya, ada beberapa persoalan dalam UU ITE. Pertama, dalam konsiderans UU ITE tidak terdapat rujukan yuridis secara materiil terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dengan demikian, UU ITE juga tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (13) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
“Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.”

Tambahan lagi, Pasal 5 poin c UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan juga menyebutkan:
“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: (…) c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; (…)”

Dari Pasal ayat (13) dan Pasal 5 poin c UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan tersebut, jelas bahwa pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, baik secara materiil maupun formil, harus merujuk pada hierarki peraturan perundang-perundangan. Penjelasan umum UU ITE sebenarnya merupakan intisari dari dua konsep instrumen internasional yang sudah ada, yakni UNCITRAL Model Law on eCommerce danUNCITRAL Model Law on eSignature. Kedua konvensi tersebut dihasilkan oleh Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Perdagangan Internasional (United Nations Commission on International Trade Law atau UNCTRAL). Tetapi, kedua konvensi internasional tersebut belum disahkan di Indonesia, sehingga pengesahan instrumen internasional, setidaknya berupa kedua konvensi tersebut, tidak dimuat dalam rujukan materiil rumusan konsiderans UU ITE. Hal ini menyebabkan UU ITE tidak sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan yang berbunyi:
“Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: (…) c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; (…).”

Kedua, UU ITE secara yuridis hanya merujuk pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 tentang kewenangan pembentuk undang-undang. Artinya, UU ITE hanya menyebutkan rujukan formil tanpa menyertakan landasan yuridis terhadap muatan materinya.

Ketiga, pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik, yakni Pasal 27 ayat (3), tidak menjelaskan secara rinci tentang apa yang disebut “pencemaran nama baik”. Tidak ada pasal maupun penjelasan dalam UU ITE yang dapat menguraikan secara jelas delik pencemaran nama baik yang dimaksud; bagaimana pengertian, penggolongan, maupun unsur-unsurnya secara tegas sehingga dalam praktik perundang-undangan seringkali terjadi tafsir sepihak oleh penegak hukum (penyidik kepolisian). Pasal 27 ayat (3) tertuang dalam Bab VII yang mengatur tentang “Perbuatan yang Dilarang”. Pasal tersebut berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Dari keseluruhan batang tubuh UU ITE, semangat undang-undang ini sebenarnya adalah mengatur lalu lintas hubungan bisnis di media elektronik yang bersandar pada hak kekayaan intelektual (perdata). Dengan demikian, tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE seharusnya sesuai dengan semangat dan asas pembentukannya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 dan Pasal 4 huruf a, c, dan e UU ITE (baca lebih lanjut penjelasan kententuan umum dalam penjelasan UU ITE). Lewat metode tafsir sejarah atas lahirnya UU ITE pun, yakni dengan melihat risalah perdebatan mengenai pasal pencemaran nama baik sehingga menjadi pasal yang sah dalam UU ITE (original intent), pasal pencemaran nama baik itu hanya dapat ditafsirkan pada hal ihwal yang bersentuhan dengan hubungan bisnis dalam transaksi elektronik.

Pasal 3 UU ITE berbunyi:
“Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”

Pasal 4 poin a, c, dan e UU ITE berbunyi:
“Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; (…) c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; (…) e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”

Dalam tulisan ini, penulis ingin menunjukkan kepada penyidik kepolisian mengenai cara untuk menafsirkan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE, yakni Pasal 27 ayat (3). Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam menafsirkan pasal tersebut. Pertama, menganalisis penjelasan umum UU ITE dengan merujuk pada UUD 1945 yang berkaitan dengan kemerdekaan berserikat dan berpendapat. Kedua, dengan melihat semangat, latar belakang, orginal intent, dan asas pembentukannya, Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, serta asas dan tujuan pembentukan UU ITE sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Poin a, c, dan e UU ITE. Ketiga, pasal pencemaran nama baik ini secara langsung atau tidak langsung menabrak Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Dengan menimbang seluruh pasal tersebut, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE ini inkonstitusional karena melanggar ketentuan pasal-pasal dalam UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.

UU ITE seharusnya bisa memberikan manfaat nyata bagi subjek hukum, bukannya melakukan pembungkaman terhadap kritik dari berbagai elemen masyarakat yang membawa seruan kebenaran dan keadilan. Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman) sudah semestinya diingatkan bahwa UU ITE harus menjadi instrumen penegakan hukum (law enforcement), panduan hukum informasi (lex informatica), dan hukum media (media law) yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. Kasus Saut Situmorang, Adlun Fikri, dan Suparman Marzuki dan yang paling terbaru Haris Azhar (Kordinator Kontras) adalah empat dari banyak kasus pembungkaman kritik dan pengungkapan kebenaran oleh masyarakat terhadap kebobrokan negeri ini. Mereka dikriminalisasi dengan pasal karet dalam UU ITE yang, kalau dibedah lebih jauh, justru bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.

Berkenaan dengan jatuhnya korban-korban dari penyalahgunaan UU ITE, para pemerhati hukum memiliki kewajiban moral dan intelektual untuk membela korban-korban yang lahir dari penerapan UU ITE. Kewajiban itu bisa berupa pendampingan hukum, pengajuan analisis hukum terkait dengan pasal-pasal dalam UU ITE, dan turut serta dalam pengorganisasian kekuatan masyarakat sipil, agar proses hukum yang timpang bisa lekas dihentikan. []

Oleh: Maulana Patra Syah, S.H., M.H. Konsultan Hukum dan Advokat di Kantor Hukum BPH&Partners

Tulisan ini pernah dimuat di Literasi.co dengan tajuk yang serupa.

Hukum Pidana Tak Memerlukan Bukti Langsung; Kesaksian Ahli Dalam Persidangan Jesica.

Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa pembuktian hukum dalam perkara pidana tidak memerlukan bukti langsung atau direct evidence. Edward menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016).

"Dalam hukum pembuktian ada direct evidence, bukti langsung. Ada juga circumstantial evidence, bukti tidak langsung dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bisa dibuktikan," ujar Edward.

Menurut Edward, circumstantial evidence bisa didapatkan dari surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa. Dari keterangan-keterangan di dalam persidangan, majelis hakim dapat memutuskan perkara.

"Maka hakim dapat memutuskan perkara tanpa adanya direct evidence," kata dia.

Setelah mendengarkan keterangan ahli, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan bagaimana keterangan ahli dapat menjadi salah satu bukti untuk majelis hakim memutuskan suatu perkara.

"Jenis keterangan ahli ada lima. Pertama, keterangan ahli dari segi bahasa. Kedua, keterangan ahli secara teknis suatu prosedur," ucap Edward.

Keterangan ahli yang ketiga yakni keterangan ahli yang menjelaskan suatu peristiwa atau perbuatan berdasarkan fakta yang dikumpulkan terlebih dahulu, baik dari media massa, tayangan yang disaksikan, dan lainnya. Selanjutnya keterangan ahli yang melakukan penelitian baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Yang kelima, ahli yang ketika memberikan keterangan berdasarkan keahlian tanpa perlu melakukan observasi atau pengamatan," tuturnya.

Selain itu, kesaksian ahli pun memiliki corak, yakni ahli tersebut tidak boleh masuk ke dalam kasus konkret yang sedang disidangkan. Setelah itu, JPU kembali bertanya apakah ahli yang sudah memberikan keterangan dalam penyidikan yang dilakukan penyidik dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di dalam persidangan. JPU pun menanyakan apakah keterangannya tetap objektif.

"Selama ahli itu melakukan penelitian, baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, itu masih objektif," jawab Edward.

Jawaban Edward tersebut sesuai dengan nomor empat mengenai jenis keterangan ahli yang dia jelaskan sebelumnya. Dalam kasus ini, Mirna meninggal setelah meminum kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu (6/1/2016).

Jessica menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. JPU memberikan dakwaan tunggal terhadap Jessica yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Namun, selama persidangan berlangsung, belum ada satu pun saksi yang melihat Jessica memasukkan sianida ke dalam es kopi vietnam yang diminum Mirna.

Sumber: Kompas.com

Selasa, 30 Agustus 2016

Bisakah Membuat SKCK Jika Pernah Melakukan Tindak Pidana?

Surat Keterangan Catatan Kepolisian (“SKCK”)


SKCK adalah surat keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) kepada seorang/pemohon warga masyarakat untuk memenuhi permohonan dari yang bersangkutan atau suatu keperluan karena adanya ketentuan yang mempersyaratkan, berdasarkan hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang orang tersebut.


Sementara, Catatan Kepolisian adalah catatan tertulis yang diselenggarakan oleh Polri terhadap seseorang yang pernah melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum atau sedang dalam proses peradilan atas perbuatan yang dia lakukan.


SKCK digunakan sebagai kelengkapan persyaratan bagi pengguna, antara lain untuk:




  1. menjadi calon pegawai pada perusahaan/lembaga/badan swasta; dan

  2. melaksanakan suatu kegiatan atau keperluan tertentu dalam lingkup wilayah Polsek, antara lain:

  3. pencalonan kepala desa;

  4. pencalonan sekretaris desa;

  5. pindah alamat; atau

  6. melanjutkan sekolah.


Cara Memperoleh SKCK


Permohonan untuk memperoleh SKCK dilakukan dengan cara:




  1. pemohon mendaftar dan menyerahkan persyaratan pada loket yang telah disediakan dengan menunjukkan dokumen asli atau dikirim secara online melalui sarana elektronik;

  2. pemohon mengisi formulir daftar pertanyaan; dan

  3. pemohon menyerahkan kembali formulir daftar pertanyaan yang telah diisi kepada petugas pelayanan dikirim secara online melalui sarana elektronik.


Bagi Anda yang Warga Negara Indonesia, persyaratan untuk memperoleh SKCK adalah sebagai berikut:




  1. fotokopi KTP dengan menunjukkan KTP asli;

  2. fotokopi kartu keluarga;

  3. fotokopi akte lahir/kenal lahir;

  4. fotokopi kartu identitas lain bagi yang belum memenuhi syarat untuk mendapatkan KTP; dan

  5. pasfoto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 6 (enam) lembar, yang digunakan untuk:

  6. SKCK 1 (satu) lembar;

  7. arsip 1 (satu) lembar;

  8. buku agenda 1 (satu) lembar;

  9. Kartu Tik 1 (satu) lembar; dan

  10. formulir sidik jari 2 (dua) lembar.


Prosedur Penerbitan SKCK


Prosedur penerbitan SKCK dilakukan melalui:




  1. pencatatan;

  2. identifikasi;

  3. penelitian;

  4. koordinasi; dan

  5. penerbitan.


Mengenai Anda yang pernah melakukan tindak pidana dan dipidana hukuman percobaan selama 6 bulan tahanan kota, hal ini memiliki keterkaitan dengan prosedur “penelitian” dan “koordinasi”.


Penelitian, salah satunya, dilakukan terhadap data menyangkut pemohon SKCK pernah atau tidak pernah dan/atau sedang tersangkut tindak pidana. Terkait data ini, dilakukan juga koordinasi internal antara Reserse Kriminal, Lalu Lintas, Polair, dan Sabhara, terkait pemberian data ada atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh Anda sebagai pemohon SKCK. Reserse Kriminal, Lalu Lintas, Polair, dan Sabhara secara berkala memperbarui data tentang masyarakat yang mempunyai catatan kriminal.


Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa “pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana” bukan persyaratan untuk mendapatkan SKCK. SKCK justru merupakan surat keterangan resmi yang memuat hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang diri Anda, termasuk pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana.


Jadi, Anda tetap dapat meminta SKCK. Sedangkan mengenai Anda pernah dihukum dengan hukuman percobaan selama 6 bulan tahanan kota karena melakukan tindak pidana pengrusakan, hal tersebut akan menjadi catatan yang dicantumkan dalam SKCK.




Conclusion:
“Pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana” bukan persyaratan untuk mendapatkan SKCK. SKCK justru merupakan surat keterangan resmi Kepolisian yang memuat hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang diri Anda, termasuk pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana.


Jadi, Anda tetap dapat meminta SKCK. Sedangkan mengenai Anda pernah dihukum dengan hukuman percobaan selama 6 bulan tahanan kota karena melakukan tindak pidana pengrusakan, hal tersebut akan menjadi catatan yang dicantumkan dalam SKCK.



 sumber:hukumonline(dot)com

Suka Menghina Suku, ini Jerat Hukumnya

Menghina Suku Tertentu
Perbuatan penghinaan terhadap suku tertentu yang diwujudkan dengan kebencian merupakan salah satu bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis. Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan. Sedangkan etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.

Perbuatan diskriminasi ras dan etnik ini dilarang dalam Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang berbunyi:


Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:




  1. ….

  2. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:

  3. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

  4. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

  5. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau

  6. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.


Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.


Jadi, jika perbuatan menghina suku itu dilakukan dengan cara mengungkapkan atau melontarkan kata-kata tertentu yang menunjukkan kebencian pada ras dan etnis tertentu, maka pelakunya dapat dipidana.


Menghina dengan Kata-Kata Kasar


Sedangkan mengenai orang yang memaki dengan kata-kata kasar, kami perlu keterangan lebih lanjut kata-kata kasar apa yang dimaksud. Jika orang itu memaki dengan kata-kata yang membuat seseorang merasa terhina, maka perbuatan itu dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan.


Jika penghinaan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah dengan tindakan selain “menuduh seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “babi”, “asu”, “bajingan” dan sebagainya, maka perbuatan oranga tersebut termasuk Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan dinamakan “penghinaan ringan”.


Pasal 315 KUHP berbunyi sebagai berikut:


“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan (lihat Pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihatPasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.


Tindak pidana penghinaan ini merupakan delik aduan. Artinya, tuntutan hanya bisa dilakukan apabila ada aduan yang disampaikan kepada pihak berwajib. Oleh karena itu, korban yang merasa terhinalah yang harus melakukan pengaduan kepada pihak berwajib agar perkara tersebut dapat diproses.




Conclution:
Perbuatan penghinaan terhadap suku tertentu yang diwujudkan dengan melontarkan kata-kata yang menunjukkan kebencian merupakan salah satu bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis. Perbuatan ini dapat diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.



sumber: hukumonline(dot)com

Sabtu, 27 Agustus 2016

Hello world!

Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!