Rabu, 31 Agustus 2016

Hukum Pidana Tak Memerlukan Bukti Langsung; Kesaksian Ahli Dalam Persidangan Jesica.

Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa pembuktian hukum dalam perkara pidana tidak memerlukan bukti langsung atau direct evidence. Edward menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016).

"Dalam hukum pembuktian ada direct evidence, bukti langsung. Ada juga circumstantial evidence, bukti tidak langsung dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bisa dibuktikan," ujar Edward.

Menurut Edward, circumstantial evidence bisa didapatkan dari surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa. Dari keterangan-keterangan di dalam persidangan, majelis hakim dapat memutuskan perkara.

"Maka hakim dapat memutuskan perkara tanpa adanya direct evidence," kata dia.

Setelah mendengarkan keterangan ahli, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan bagaimana keterangan ahli dapat menjadi salah satu bukti untuk majelis hakim memutuskan suatu perkara.

"Jenis keterangan ahli ada lima. Pertama, keterangan ahli dari segi bahasa. Kedua, keterangan ahli secara teknis suatu prosedur," ucap Edward.

Keterangan ahli yang ketiga yakni keterangan ahli yang menjelaskan suatu peristiwa atau perbuatan berdasarkan fakta yang dikumpulkan terlebih dahulu, baik dari media massa, tayangan yang disaksikan, dan lainnya. Selanjutnya keterangan ahli yang melakukan penelitian baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Yang kelima, ahli yang ketika memberikan keterangan berdasarkan keahlian tanpa perlu melakukan observasi atau pengamatan," tuturnya.

Selain itu, kesaksian ahli pun memiliki corak, yakni ahli tersebut tidak boleh masuk ke dalam kasus konkret yang sedang disidangkan. Setelah itu, JPU kembali bertanya apakah ahli yang sudah memberikan keterangan dalam penyidikan yang dilakukan penyidik dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di dalam persidangan. JPU pun menanyakan apakah keterangannya tetap objektif.

"Selama ahli itu melakukan penelitian, baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, itu masih objektif," jawab Edward.

Jawaban Edward tersebut sesuai dengan nomor empat mengenai jenis keterangan ahli yang dia jelaskan sebelumnya. Dalam kasus ini, Mirna meninggal setelah meminum kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu (6/1/2016).

Jessica menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. JPU memberikan dakwaan tunggal terhadap Jessica yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Namun, selama persidangan berlangsung, belum ada satu pun saksi yang melihat Jessica memasukkan sianida ke dalam es kopi vietnam yang diminum Mirna.

Sumber: Kompas.com

Hukum Pidana Tak Memerlukan Bukti Langsung; Kesaksian Ahli Dalam Persidangan Jesica

Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa pembuktian hukum dalam perkara pidana tidak memerlukan bukti langsung atau direct evidence. Edward menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016).

"Dalam hukum pembuktian ada direct evidence, bukti langsung. Ada juga circumstantial evidence, bukti tidak langsung dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bisa dibuktikan," ujar Edward.

Menurut Edward, circumstantial evidence bisa didapatkan dari surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa. Dari keterangan-keterangan di dalam persidangan, majelis hakim dapat memutuskan perkara.

"Maka hakim dapat memutuskan perkara tanpa adanya direct evidence," kata dia.

Setelah mendengarkan keterangan ahli, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan bagaimana keterangan ahli dapat menjadi salah satu bukti untuk majelis hakim memutuskan suatu perkara.

"Jenis keterangan ahli ada lima. Pertama, keterangan ahli dari segi bahasa. Kedua, keterangan ahli secara teknis suatu prosedur," ucap Edward.

Keterangan ahli yang ketiga yakni keterangan ahli yang menjelaskan suatu peristiwa atau perbuatan berdasarkan fakta yang dikumpulkan terlebih dahulu, baik dari media massa, tayangan yang disaksikan, dan lainnya. Selanjutnya keterangan ahli yang melakukan penelitian baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Yang kelima, ahli yang ketika memberikan keterangan berdasarkan keahlian tanpa perlu melakukan observasi atau pengamatan," tuturnya.

Selain itu, kesaksian ahli pun memiliki corak, yakni ahli tersebut tidak boleh masuk ke dalam kasus konkret yang sedang disidangkan. Setelah itu, JPU kembali bertanya apakah ahli yang sudah memberikan keterangan dalam penyidikan yang dilakukan penyidik dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di dalam persidangan. JPU pun menanyakan apakah keterangannya tetap objektif.

"Selama ahli itu melakukan penelitian, baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, itu masih objektif," jawab Edward.

Jawaban Edward tersebut sesuai dengan nomor empat mengenai jenis keterangan ahli yang dia jelaskan sebelumnya. Dalam kasus ini, Mirna meninggal setelah meminum kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu (6/1/2016).

Jessica menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. JPU memberikan dakwaan tunggal terhadap Jessica yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Namun, selama persidangan berlangsung, belum ada satu pun saksi yang melihat Jessica memasukkan sianida ke dalam es kopi vietnam yang diminum Mirna.

Sumber: Kompas.com

Cacat Hukum UU ITE Nomor 11 Tahun 2008

UNTUK memulai perdebatan tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama berkenaan dengan pencemaran nama baik sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu mengenai teori perundang-undangan dan upaya tafsir atas undang-undang. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Indonesia, A. Hamid S. Attamimi memberi penjelasan tentang teori perundang-undangan:
“‘Teori perundang-undangan’ bukanlah berarti pendapat cara melakukan sesuatu, seperti dikatakan orang: teorinya mudah tetapi praktiknya sukar. Bukan pula berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (…). Kata ‘teori perundang-undangan’ yang dimaksudkan di sini ialah sekumpulan pemahaman-pemahaman, titik-titik tolak, dan asas-asas yang saling berkaitan, yang memungkinkan kita memahami lebih baik terhadap sesuatu yang kita coba untuk mendalaminya.”

Teori perundang-undangan merujuk pada ilmu pengetahuan di bidang perundang-undangan yang bersifat kognitif, dalam arti memberi pemahaman terutama mengenai pemahaman-pemahaman dasarnya. Dari penggunaan istilah atau pemahaman perundang-undangan, Attamimi cenderung menggunakan pemahaman perundang-undangan dari Burkhardt Krems, pakar hukum perundang-undangan asal Jerman. Pengetahuan perundang-undangan yang dimaksud dibagi menjadi dua sisi. Pertama, sisi yang berorientasi untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman yang bersifat kognitif (teori perundang-undangan). Kedua, sisi yang melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif (ilmu perundang-undangan dalam arti sempit).

Dengan demikian, teori perundang-undangan ialah cabang atau sisi dari ilmu perundang-undangan yang bersifat kognitif dan berorientasi mengusahakan kejelasan dan kejernihan pemahaman, khususnya pemahaman di bidang perundang-undangan (pemahaman tentang undang-undang, tafsir atas undang-undang, pembentuk undang-undang, dan sebagainya).

Berangkat dari penjelasan tersebut, pemahaman terhadap fungsi perundang-undangan dan tafsir atas undang-undang harus disandarkan pada pemahaman kognitif dan pengetahuan hukum, sebagaimana diuraikan dengan jernih secara teoretis oleh Attamimi atas tafsirnya terhadap konsep Burkhardt Krems. Di Indonesia, dalam proses pembentukan perundang-undangan dan praktik perundang-undangan, sering terjadi pendangkalan pemahaman atas tafsir undang-undang, baik oleh pembentuk undang-undang maupun penegak hukum. Hal ini tampak jelas dalam kaitannya dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.

Secara umum, UU ITE dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama, pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik. Kedua, pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang.

UU ITE dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umum guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain: pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 dan Pasal 6), tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan Pasal 12), penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority) (Pasal 13 dan Pasal 14), dan penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 dan Pasal 16).

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain, kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pengancaman, dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29); akses ilegal (Pasal 30); intersepsi ilegal (Pasal 31); gangguan terhadap data (data interference) (Pasal 32); gangguan terhadap sistem (system interference) (Pasal 33); dan penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device) (Pasal 34).

Berangkat dari tinjauan umum di atas, menurut saya, ada beberapa persoalan dalam UU ITE. Pertama, dalam konsiderans UU ITE tidak terdapat rujukan yuridis secara materiil terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dengan demikian, UU ITE juga tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (13) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
“Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.”

Tambahan lagi, Pasal 5 poin c UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan juga menyebutkan:
“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: (…) c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; (…)”

Dari Pasal ayat (13) dan Pasal 5 poin c UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan tersebut, jelas bahwa pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, baik secara materiil maupun formil, harus merujuk pada hierarki peraturan perundang-perundangan. Penjelasan umum UU ITE sebenarnya merupakan intisari dari dua konsep instrumen internasional yang sudah ada, yakni UNCITRAL Model Law on eCommerce danUNCITRAL Model Law on eSignature. Kedua konvensi tersebut dihasilkan oleh Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Perdagangan Internasional (United Nations Commission on International Trade Law atau UNCTRAL). Tetapi, kedua konvensi internasional tersebut belum disahkan di Indonesia, sehingga pengesahan instrumen internasional, setidaknya berupa kedua konvensi tersebut, tidak dimuat dalam rujukan materiil rumusan konsiderans UU ITE. Hal ini menyebabkan UU ITE tidak sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan yang berbunyi:
“Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: (…) c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; (…).”

Kedua, UU ITE secara yuridis hanya merujuk pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 tentang kewenangan pembentuk undang-undang. Artinya, UU ITE hanya menyebutkan rujukan formil tanpa menyertakan landasan yuridis terhadap muatan materinya.

Ketiga, pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik, yakni Pasal 27 ayat (3), tidak menjelaskan secara rinci tentang apa yang disebut “pencemaran nama baik”. Tidak ada pasal maupun penjelasan dalam UU ITE yang dapat menguraikan secara jelas delik pencemaran nama baik yang dimaksud; bagaimana pengertian, penggolongan, maupun unsur-unsurnya secara tegas sehingga dalam praktik perundang-undangan seringkali terjadi tafsir sepihak oleh penegak hukum (penyidik kepolisian). Pasal 27 ayat (3) tertuang dalam Bab VII yang mengatur tentang “Perbuatan yang Dilarang”. Pasal tersebut berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Dari keseluruhan batang tubuh UU ITE, semangat undang-undang ini sebenarnya adalah mengatur lalu lintas hubungan bisnis di media elektronik yang bersandar pada hak kekayaan intelektual (perdata). Dengan demikian, tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE seharusnya sesuai dengan semangat dan asas pembentukannya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 dan Pasal 4 huruf a, c, dan e UU ITE (baca lebih lanjut penjelasan kententuan umum dalam penjelasan UU ITE). Lewat metode tafsir sejarah atas lahirnya UU ITE pun, yakni dengan melihat risalah perdebatan mengenai pasal pencemaran nama baik sehingga menjadi pasal yang sah dalam UU ITE (original intent), pasal pencemaran nama baik itu hanya dapat ditafsirkan pada hal ihwal yang bersentuhan dengan hubungan bisnis dalam transaksi elektronik.

Pasal 3 UU ITE berbunyi:
“Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”

Pasal 4 poin a, c, dan e UU ITE berbunyi:
“Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; (…) c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; (…) e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”

Dalam tulisan ini, penulis ingin menunjukkan kepada penyidik kepolisian mengenai cara untuk menafsirkan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE, yakni Pasal 27 ayat (3). Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam menafsirkan pasal tersebut. Pertama, menganalisis penjelasan umum UU ITE dengan merujuk pada UUD 1945 yang berkaitan dengan kemerdekaan berserikat dan berpendapat. Kedua, dengan melihat semangat, latar belakang, orginal intent, dan asas pembentukannya, Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, serta asas dan tujuan pembentukan UU ITE sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Poin a, c, dan e UU ITE. Ketiga, pasal pencemaran nama baik ini secara langsung atau tidak langsung menabrak Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Dengan menimbang seluruh pasal tersebut, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE ini inkonstitusional karena melanggar ketentuan pasal-pasal dalam UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.

UU ITE seharusnya bisa memberikan manfaat nyata bagi subjek hukum, bukannya melakukan pembungkaman terhadap kritik dari berbagai elemen masyarakat yang membawa seruan kebenaran dan keadilan. Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman) sudah semestinya diingatkan bahwa UU ITE harus menjadi instrumen penegakan hukum (law enforcement), panduan hukum informasi (lex informatica), dan hukum media (media law) yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. Kasus Saut Situmorang, Adlun Fikri, dan Suparman Marzuki dan yang paling terbaru Haris Azhar (Kordinator Kontras) adalah empat dari banyak kasus pembungkaman kritik dan pengungkapan kebenaran oleh masyarakat terhadap kebobrokan negeri ini. Mereka dikriminalisasi dengan pasal karet dalam UU ITE yang, kalau dibedah lebih jauh, justru bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.

Berkenaan dengan jatuhnya korban-korban dari penyalahgunaan UU ITE, para pemerhati hukum memiliki kewajiban moral dan intelektual untuk membela korban-korban yang lahir dari penerapan UU ITE. Kewajiban itu bisa berupa pendampingan hukum, pengajuan analisis hukum terkait dengan pasal-pasal dalam UU ITE, dan turut serta dalam pengorganisasian kekuatan masyarakat sipil, agar proses hukum yang timpang bisa lekas dihentikan. []

Oleh: Maulana Patra Syah, S.H., M.H. Konsultan Hukum dan Advokat di Kantor Hukum BPH&Partners

Tulisan ini pernah dimuat di Literasi.co dengan tajuk yang serupa.

Hukum Pidana Tak Memerlukan Bukti Langsung; Kesaksian Ahli Dalam Persidangan Jesica.

Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa pembuktian hukum dalam perkara pidana tidak memerlukan bukti langsung atau direct evidence. Edward menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016).

"Dalam hukum pembuktian ada direct evidence, bukti langsung. Ada juga circumstantial evidence, bukti tidak langsung dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bisa dibuktikan," ujar Edward.

Menurut Edward, circumstantial evidence bisa didapatkan dari surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa. Dari keterangan-keterangan di dalam persidangan, majelis hakim dapat memutuskan perkara.

"Maka hakim dapat memutuskan perkara tanpa adanya direct evidence," kata dia.

Setelah mendengarkan keterangan ahli, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan bagaimana keterangan ahli dapat menjadi salah satu bukti untuk majelis hakim memutuskan suatu perkara.

"Jenis keterangan ahli ada lima. Pertama, keterangan ahli dari segi bahasa. Kedua, keterangan ahli secara teknis suatu prosedur," ucap Edward.

Keterangan ahli yang ketiga yakni keterangan ahli yang menjelaskan suatu peristiwa atau perbuatan berdasarkan fakta yang dikumpulkan terlebih dahulu, baik dari media massa, tayangan yang disaksikan, dan lainnya. Selanjutnya keterangan ahli yang melakukan penelitian baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Yang kelima, ahli yang ketika memberikan keterangan berdasarkan keahlian tanpa perlu melakukan observasi atau pengamatan," tuturnya.

Selain itu, kesaksian ahli pun memiliki corak, yakni ahli tersebut tidak boleh masuk ke dalam kasus konkret yang sedang disidangkan. Setelah itu, JPU kembali bertanya apakah ahli yang sudah memberikan keterangan dalam penyidikan yang dilakukan penyidik dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di dalam persidangan. JPU pun menanyakan apakah keterangannya tetap objektif.

"Selama ahli itu melakukan penelitian, baik terhadap pelaku, korban, maupun alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, itu masih objektif," jawab Edward.

Jawaban Edward tersebut sesuai dengan nomor empat mengenai jenis keterangan ahli yang dia jelaskan sebelumnya. Dalam kasus ini, Mirna meninggal setelah meminum kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu (6/1/2016).

Jessica menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. JPU memberikan dakwaan tunggal terhadap Jessica yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Namun, selama persidangan berlangsung, belum ada satu pun saksi yang melihat Jessica memasukkan sianida ke dalam es kopi vietnam yang diminum Mirna.

Sumber: Kompas.com

Selasa, 30 Agustus 2016

Bisakah Membuat SKCK Jika Pernah Melakukan Tindak Pidana?

Surat Keterangan Catatan Kepolisian (“SKCK”)


SKCK adalah surat keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) kepada seorang/pemohon warga masyarakat untuk memenuhi permohonan dari yang bersangkutan atau suatu keperluan karena adanya ketentuan yang mempersyaratkan, berdasarkan hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang orang tersebut.


Sementara, Catatan Kepolisian adalah catatan tertulis yang diselenggarakan oleh Polri terhadap seseorang yang pernah melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum atau sedang dalam proses peradilan atas perbuatan yang dia lakukan.


SKCK digunakan sebagai kelengkapan persyaratan bagi pengguna, antara lain untuk:




  1. menjadi calon pegawai pada perusahaan/lembaga/badan swasta; dan

  2. melaksanakan suatu kegiatan atau keperluan tertentu dalam lingkup wilayah Polsek, antara lain:

  3. pencalonan kepala desa;

  4. pencalonan sekretaris desa;

  5. pindah alamat; atau

  6. melanjutkan sekolah.


Cara Memperoleh SKCK


Permohonan untuk memperoleh SKCK dilakukan dengan cara:




  1. pemohon mendaftar dan menyerahkan persyaratan pada loket yang telah disediakan dengan menunjukkan dokumen asli atau dikirim secara online melalui sarana elektronik;

  2. pemohon mengisi formulir daftar pertanyaan; dan

  3. pemohon menyerahkan kembali formulir daftar pertanyaan yang telah diisi kepada petugas pelayanan dikirim secara online melalui sarana elektronik.


Bagi Anda yang Warga Negara Indonesia, persyaratan untuk memperoleh SKCK adalah sebagai berikut:




  1. fotokopi KTP dengan menunjukkan KTP asli;

  2. fotokopi kartu keluarga;

  3. fotokopi akte lahir/kenal lahir;

  4. fotokopi kartu identitas lain bagi yang belum memenuhi syarat untuk mendapatkan KTP; dan

  5. pasfoto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 6 (enam) lembar, yang digunakan untuk:

  6. SKCK 1 (satu) lembar;

  7. arsip 1 (satu) lembar;

  8. buku agenda 1 (satu) lembar;

  9. Kartu Tik 1 (satu) lembar; dan

  10. formulir sidik jari 2 (dua) lembar.


Prosedur Penerbitan SKCK


Prosedur penerbitan SKCK dilakukan melalui:




  1. pencatatan;

  2. identifikasi;

  3. penelitian;

  4. koordinasi; dan

  5. penerbitan.


Mengenai Anda yang pernah melakukan tindak pidana dan dipidana hukuman percobaan selama 6 bulan tahanan kota, hal ini memiliki keterkaitan dengan prosedur “penelitian” dan “koordinasi”.


Penelitian, salah satunya, dilakukan terhadap data menyangkut pemohon SKCK pernah atau tidak pernah dan/atau sedang tersangkut tindak pidana. Terkait data ini, dilakukan juga koordinasi internal antara Reserse Kriminal, Lalu Lintas, Polair, dan Sabhara, terkait pemberian data ada atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh Anda sebagai pemohon SKCK. Reserse Kriminal, Lalu Lintas, Polair, dan Sabhara secara berkala memperbarui data tentang masyarakat yang mempunyai catatan kriminal.


Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa “pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana” bukan persyaratan untuk mendapatkan SKCK. SKCK justru merupakan surat keterangan resmi yang memuat hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang diri Anda, termasuk pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana.


Jadi, Anda tetap dapat meminta SKCK. Sedangkan mengenai Anda pernah dihukum dengan hukuman percobaan selama 6 bulan tahanan kota karena melakukan tindak pidana pengrusakan, hal tersebut akan menjadi catatan yang dicantumkan dalam SKCK.




Conclusion:
“Pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana” bukan persyaratan untuk mendapatkan SKCK. SKCK justru merupakan surat keterangan resmi Kepolisian yang memuat hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang diri Anda, termasuk pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana.


Jadi, Anda tetap dapat meminta SKCK. Sedangkan mengenai Anda pernah dihukum dengan hukuman percobaan selama 6 bulan tahanan kota karena melakukan tindak pidana pengrusakan, hal tersebut akan menjadi catatan yang dicantumkan dalam SKCK.



 sumber:hukumonline(dot)com

Suka Menghina Suku, ini Jerat Hukumnya

Menghina Suku Tertentu
Perbuatan penghinaan terhadap suku tertentu yang diwujudkan dengan kebencian merupakan salah satu bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis. Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan. Sedangkan etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.

Perbuatan diskriminasi ras dan etnik ini dilarang dalam Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang berbunyi:


Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:




  1. ….

  2. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:

  3. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

  4. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

  5. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau

  6. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.


Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.


Jadi, jika perbuatan menghina suku itu dilakukan dengan cara mengungkapkan atau melontarkan kata-kata tertentu yang menunjukkan kebencian pada ras dan etnis tertentu, maka pelakunya dapat dipidana.


Menghina dengan Kata-Kata Kasar


Sedangkan mengenai orang yang memaki dengan kata-kata kasar, kami perlu keterangan lebih lanjut kata-kata kasar apa yang dimaksud. Jika orang itu memaki dengan kata-kata yang membuat seseorang merasa terhina, maka perbuatan itu dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan.


Jika penghinaan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah dengan tindakan selain “menuduh seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “babi”, “asu”, “bajingan” dan sebagainya, maka perbuatan oranga tersebut termasuk Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan dinamakan “penghinaan ringan”.


Pasal 315 KUHP berbunyi sebagai berikut:


“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan (lihat Pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihatPasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.


Tindak pidana penghinaan ini merupakan delik aduan. Artinya, tuntutan hanya bisa dilakukan apabila ada aduan yang disampaikan kepada pihak berwajib. Oleh karena itu, korban yang merasa terhinalah yang harus melakukan pengaduan kepada pihak berwajib agar perkara tersebut dapat diproses.




Conclution:
Perbuatan penghinaan terhadap suku tertentu yang diwujudkan dengan melontarkan kata-kata yang menunjukkan kebencian merupakan salah satu bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis. Perbuatan ini dapat diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.



sumber: hukumonline(dot)com

Sabtu, 27 Agustus 2016

Hello world!

Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!